Wednesday 24 October 2012

makalah tadwin hadits



HADITS MASA UMAYYAH DAN MASA AWAL ABBASIAH
(Abad 2 H Hingga Awal Abad 7 H)
Disusun Oleh:
Muhammad Solehan

PENDAHULUAN
Dalam abad pertama hijrah , mulai dari zaman Rasul, Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar zaman Bani Umayyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadit- hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing- masing perawi meriwayatkan berdasarkanpada kekuatan hafalan. Dikala kendali dibawah kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau tergerak untuk membukukan hadits pada masa itu. Beliau khawatir apabila hadits tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para perawinya, mungkinlah hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi ini, dibawa para perawi penghafalnya ke alam barzakh karena semakin banyak yang meninggal dunia. Maka khalifah pun mengkoordinasi gubernur- gubernur untuk turut andil dalam pengumpulan dan pembukuan hadits. Ulama’- ulama’ abad  ini membukukan hadits, yaitu dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits- hadits saja, fatwa- fatwa sahabat pun dimasukkan kedalam bukunya itu, bahkan fatwa- fatwa tabi’i juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama- sam. Maka terdapatlah dalam kitab- kitab itu, hadits- hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Adapun pada Abad setelah ini(abad Kedua Hijriyyah), para ulama’ hadits memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits- hadits Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang semakin marak. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan islam pesat sekali dan melahirkan imam- imam mujtahid diberbagai bidang.
Sedangkan pada Abad keempat hingga Abad ketujuh Hijriyyah, lama’- ulama’ abad ini menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak- serakan dan memudahkan jalan- jalan pengambilan atau ringkasnya, boleh kita katakan bahwa pada fase ini , masuklah hadits ke zaman membaguskan susunan kitab- kitabnya, mengumpulkan hadits- hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits- hadits hukum dalam sebuah kitab dan hadits- hadits taghrib dalam sebuah kitab ,dan masuklah kitab- kitab hadits itu kedalam masa menyarahkan dan masa mengikhtisarkan.


BAB 2
PEMBAHASAN

Masa Tadwin Hadits Abad 2 H Hingga Abad 7 H
Secara bahasa, tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al- shuhuf). Secara luas tadwin diartikan  dengan al- jam’u (mengumpulkan). Al- Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut :
“Mengumpulkan yang berserak-serakan kemudian mengumpulkanya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran- lembaran.”
Sementara yang dimaksud dengan tadwin hadits pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala negara , dengan melibatkan  beberapa  personil yang ahli di bidang nya.Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa Rasul SAW[1].  Adapun  periodesasi pengumpulan hadits pada abad  2 Hijriyyah hingga abad  7 Hijriyyah adalah sebagai berikut:

A.    Hadits Pada Abad Kedua Hijriyyah
Periode ini dikenal dengan masa penulisan dan pembukuan hadits. Pada periode ini hadits- hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang memulai memerintah dipengujung abad  pertama Hijriyyah(99 H), merasa  perlu untuk mengambil langkah- langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in. Hal tersebut dirasakanya begitu mendesak , karena pada masa itu wilayah kekuasaan islam telah meluas ke daerah- daerah  diluar Jazirah Arab[2]. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pengumpulan dan pengkodifikasian hadits adalah sebagai berikut[3]:
1.      Tidak adanya lagi penghalang untuk menulis dan membukukan hadits, yaitu kekhawatiran bercampurnya Hadits dengan Al- qur’an.
2.      Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadits karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau seringnya terjadi peperangan.
3.      Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mahdzab di kalangan umat islam. Apabila dibiarkan, maka akan merusak kemurnian ajaran Islam..
4.      Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam, maka hal itu menuntu mereka untuk mendapatkan petunjuk- petunjuk dari Hadits Nabi SAW, selain petunjuk Al- Qur’an.
5.      Kekhawatiran akan tercampurnya hadits- hadits sahih dengan hadits- hadits palsu[4].
Untuk menghasilkan (merealisasikan) maksud mulia itu,  pada tahun 100H khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin (120 H) supaya membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdir Rahman ibn Sa’ad  ibn Zurarah ibn  Ades, seorang ahli fiqih, murid Aisyah ra.(98 H), dan hadis- hadis yang ada pada Al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Ash- Shiddiq (107 H) seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh[5]. Serta hadits yang menjadi koleksi ibn Hazm sendiri[6].
Dan tugas serupa pun di laksanakan oleh Muhammad ibn Syihab  al- Zuhri (124 H) seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama’ diataslah  yang merupakan pelopor dalam kodifikasi hadits berdasarkan perintah  khalifah Umar ibn Abd Al- Aziz. Para ulama’ hadits lebih cenderung memilih al- Zuhry sebagai kodifikator  pertama dari pada ibn Hazm, karena[7]:
1.      Dikenal sebagai ulama besar di bidang hadits dibandingkan lainya
2.      Dia berhasil menghimpun seluruh hadits yang ada di Madinah.
3.      Hasil kodifikasinya dikirim keseluruh penguasa sehingga lebih cepat tersebar. Meskipun ibn Hazm dan  al- Zuhri telah berhasil menghimpun dan mengkodifikasi
hadits, akan tetapi  karya kedua ulama tersebut telah hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang[8].
Adapun sistem ulama’- ulama’ abad  ini membukukan hadits, yaitu dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits- hadits saja, fatwa- fatwa sahabat pun dimasukkan kedalam bukunya itu, bahkan fatwa- fatwa tabi’i juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama- sam. Maka terdapatlah dalam kitab- kitab itu, hadits- hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’[9]. Didalam kitab hadits periode ini belum dijumpai pemisahan antara hadits yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if[10].
Kitab- kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, banyak. Akan tetapi yang terkenal dalam kalangan ahli hadits dan yang mendapat perhatian umum ulama’ ialah[11]:
1.      Al- Muwaththa’ susunan Imam Malik
2.      Al- Musnad, susunan Al- Imam Asy- Syafi’i
3.      Mukhtaliful Hadits, juga susunan Al- Imam Asy- Syafi’i
4.      As- Siratun Nabawiyyah (Al – Maghazy wal Siyar) susunan Muhammad ibn Ishaq.
Al- Muwaththa’ adalah kitab hadits paling shahih waktu itu. Akan tetapi jumlah haditsnya sedikit, hanya sekitar lima ratus buah, ditambah dengan sejumlah pendapat para sahabat, dan tabi’in[12].
Adapun tokoh hadits yang masyhur pada abad ini antara lain: Imam Malik, Yahya ibn Sa’id ibn Qathan, Waki’ ibn Al- Jarrah, Sufyan Ats- Taury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn Hajjaj, Abdurrahman ibn Mahdi, Al- Auza’y, Al- Laits, Abu Hanifah, Asy- Syafi’i[13].

B.     Hadits Pada Abad Ketiga Hijriyyah
Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah al- Ma’mun sampai al- Muktadir  dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini para ulama’ hadits memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits- hadits Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang semakin marak. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan islam pesat sekali dan melahirkan imam- imam mujtahid diberbagai bidang. Pada dasarnya para imam mujtahid, meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing- masing. Akan tetapi , para pengikutmasing- masing imam, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya (imamnya)-lah yang benar, sehingga menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Diantara pengikut mahdzab yang sangat fanatik, akhirnya menciptakan hadits- hadits palsu dalam rangka mendukung mahdzabnya dan menjatuhkan mahdzab lawanya. Hadits palsupun dimanfaatkan oleh kaum zindiq yang sangat memusuhi Islam dalam rangka menyesatkan kaum Muslimin[14].
Ahli abad ketiga mereka bangkit mengumpulkan hadits, mereka mengasingkan hadits dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in. Akan tetapi satu kekurangan yang harus kita akui , ialah mereka tidak memisah- misahkan hadits. Yakni mereka mencampur-adukkan hadits sahih, hasan dan dha’if[15].
Adapun upaya yang dilakukan para ulama untuk melestarikan hadits pada abad ini:
1.      Perlawatan ke daerah- daerah
Mula- mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits- hadits yang terdapat dikota mereka masing- masing. Sebagian kecil saja diantara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dipecahkan oleh Al- Bukhary. Beliaulah yang meluaskan daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Bagdhad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah , Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan, dan Himsah. Ringkasnya, beliau membuat langkah mengumpulkan hadits- hadits yang tersebar di berbagai daerah . Enam belas tahun lamanya ia menjelajah untuk menyiapkan kitab sahihnya[16].  Kegiatan seperti ini selanjutnya diikuti oleh Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dll[17].
2.      Pengklasifikasian hadits kepada: marfu’ dan  maqthu’
Pada permulaan abad ke- 3H telah dilakukan pengelompokan hadits kepada: (i)marfu’, yaitu hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw, (ii) mawquf, yang disandarkan pada sahabat , (iii)maqthu’, yang disandarkan kepada tabi’in. Dengan cara ini, hadits nabi SAW terpelihara dari pencampuran dengan fatwa- fatwa tabi’in[18].
3.      Penyeleksian kualitas hadits yang pengklasifikasianya  kepada: sahih, hasan, dan dha’if
Kegiatan ini dimulai pada pertengahan abad ke- 3H yang dipelopori oleh Ishaq ibn Rahawaih. Kegiatan ini diikuti oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, dll[19].

Bentuk Penyusunan kitab hadits pada abad ketiga Hijriyyah[20], yaitu:
1.      Kitab Shahih, kitab ini hanya hadits- hadits shahih. Bentuk penyusunanya adalah berbentuk musannaf, yaitu: penyajian berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana metode kitab- kitab fiqh. Contoh kitab Shahih: Shahih Bukhari, Shahih Muslim.
2.      Kitab Sunan,dalam kitab ini dijumpai hadits- hadits shahih, juga didapati hadits yang berkualitas Dha’if dengan syarat tidak terlalu  lemah dan tidak mungkar. Penyusunanya berbentuk musannaf, dan hadits- haditsnya terbatas pada masalah fiqh (hukum). Contohny: Sunan Abu Daud, Sunan Al- Tirmidzi, Sunan Al- Nasa’i, Sunan Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Al- Darimi.
3.      Kitab Musnad,  didalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama perawi pertama . Urutan perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, sahabat yang lebih dahulu masuk islam  dll. Umumnya dalam jenis ini tidak dijelaskan hadits- haditsnya. Contoh: Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu Al- Qasim Al Baghawi, Musnad Utsman ibn Abi Syaibah.

Adapun tokoh- tokoh yang lahir dalam masa ini, ialah: ‘Ali Ibnul Madani, Abu Hatim Ar- Razy, Muhammad ibn Jarir Ath- Thabary, Muhammad ibn Sa’ad, Ishaq ibnu Rahawaih, Ahmad, Al- Bukhari, Muslim, An- Nasa’i, Abu Daud, At- Tirmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Quthaibah ad- Dainury[21].
Kitab- kitab yang tersusun  pada abad ini pun sangat banyak, dalam bentuk kitab Sahih,Sunan, maupun  Musnad. Diantaranya:kita kenal dengan Kutubus Sittah (Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, An- Nasa’i, At- Tirmidzi, Ibnu Majah), kitab hadits imam Bukhari dan Muslim dikenal dengan Jami’ Al- Shahih, Sedangkan keempat ulama’ lainya dikenal dengan nama Sunan[22]. Ada banyak pula kitab hadits periode ini yang disusun dengan Musnad.  

C.    Hadits Pada Abad Keempat Hingga Awal Abad Ketujuh Hijriyyah
Ahli hadits sesudah abad ketiga tidak banyak lagi yang mengtakhrijkan hadits. Mereka hanya berusaha mengtahdzibkan kitab- kitab yang telah ada, menghafalnya dan memeriksa sanad yang ada di dalam kitab yang telah ada itu. Dalam abad keempat ini lahirlah fikiran mencukupi dalam meriwayatkan hadits dengan berpegang kepada kitab saja, tidak melawat kemana- mana. Dengan usaha Al- Bukhari, Muslim dan Imam- imam lain itu, terkumpulah jumlah yang sangat besar dari hadits- hadits yang shahih. Sedikit sekali hadits- hadits shahih yang tak terkumpul dalam kitab- kitab ahli hadits abad ketiga, yang diusahakan mengumpulkanya oleh haditts abad keempat. Adapun kitab- kitab hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab- kitab shahih abad ketiga (kitab enam), yaitu: Ash- Shahih (susunan Ibnu Khuzaimah), At- Taqsim wal Anwa’ (susunan Ibnu Hibban), Al- Mustadrak (susunan Al- Hakim), Ash- Shahih (susunan  Abu Awanah), Al- Muntaqa (susunan Ibnul Jarud), Al- Mukhtarah (susunan Muhammad ibn Abdul Wahid Al- Maqdisy)[23].
Setelah lahirnya karya- karya diatas, maka kegiatan para ulama’ berikutnya pada umumnya adalah merujuk kepada karya- karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa, dan menyelidiki sanad- sanadnya. Juga menyusun kitab- kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun semua sanad dan matan yang saling berhubungan  serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab- kitab yang telah ada tersebut[24].
Ulama’- ulama’ abad kelima menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak- serakan dan memudahkan jalan- jalan pengambilan dan sebagainya, seperti: mengumpulkan hadits- hadits hukum dalam satu kitab, dan hadits taghrib dalam sebuah kitab, serta menyarahkanya. Ringkasnya, boleh kita katakan bahwa mulai abad kelima, masuklah hadits ke zaman membaguskan susunan kitab- kitabnya, mengumpulkan hadits- hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits- hadits hukum dalam sebuah kitab dan hadits- hadits taghrib dalam sebuah kitab ,dan masuklah kitab- kitab hadits itu kedalam masa menyarahkan dan masa mengikhtisarkan. Ulama- ulama yang datang sesudah berlalu abad yang keempat itu, seluruhnya berpegang dalam memperkatakan hadits, kepada apa yang telah dibukukan oleh imam- imam hadits yang telah lalu[25].
Para ulama hadits periode ini memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan hadits, yaitu:
1.      Kitab Athraf: kitab ini penyusunanya hanya menyebutkan dari sebagian dari matan tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutib matanya atau dari kitab- kitab lainya. Contoh: Athraf Al- Shahihaini (Ibrahim Al- Dimisyqi), Athraf al- Sunan al- Arbaah( Ibn Asakir al- dimisyqi), dll[26].
2.      Kitab Mustakhraj: Kitab ini memuat matan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya, atau lainya, dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadits tersebut dengan sanadnya sendiri[27]. Usaha- usaha yang lahir pada masa ini adalah istikhraj. Yaitu mengambil suatu hadits kemudian meriwayatkanya dengan sanad sendiri karena tidak memperoleh sanadnya sendiri. Contoh: Mustakhraj Shahih Al- Bukhari (Al- Hafidh Al- Jurjani), Mustakhraj Shahih Muslim (Al- Hafidh Abu Awanah), Mustakhraj Al- Bukhari dan Muslim (Al- Hafidh Muhammad ibn Yaqub, yang terkenal dengan nama Ibnu Akhram), dan lain sebagainya[28].
3.      Kitab Mustadrakh: kitab ini menghimpun hadits-  haditsyang memiliki syarat- syarat Bukhari dan Muslim, atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya[29] atau yang tidak diriwayatkan dan dishahihkan beliau- beliau ini[30]. Usaha penyusunan ini disebut dengan istidrak. Contoh: Al- Mustadrakh (Al- Hakim), Al- Ilzamat (Ad- Daruqutni), Al- Mustadrak (Abu Dzar Al- Harawy).
4.      Kitab Jami’: kitab ini menghimpun hadits- hadits yang termuat dalam kitab- kitab yang telah ada, yaitu seperti: Yang menghimpun hadits- hadits shahih Bukhari dan Muslim, atau hadits- hadits dari Kutub Al- Sittah. Seperti: Al- Jami’ bayn Al- Shahihaini (Ibn AlFurat), Al- Jami’ bayn Al- Shahihaini (Al- Baghawi), Tajrid Al- Shihah (Razim Muawiyah), Al- Jami’ (Ibn Kharrat)[31], dll.

Adapun diantara tokoh- tokoh hadits dalam masa ini (abad 4 H- awal 7 H), ialah: Ibnu Khuzaimah, Al- Hakim, Ibnu Hibban, ad- Daruqutni, Ath- Thabarani, Al- Qasmi ibn Qathlubagha, Ibnus- Sakan, Ath- Thahawi, Al- Baihaqi, Ismail ibn Ahmad ibn Furrat, Muhammad ibn  Nashr Al- Humaidi, Al- Baghawi, Mhammad ibn Ishaq Al- Asybili, Ahmad ibn Muhammad al- Qurtuby(Ibnu Hujjah), Razin ibn Muawiyah al’Abdari As Sarqasti, Ibnu Atsir Al- Jazari, ‘Abdurrahman ibnul Jauzy, Al- Hasan ibn Ahmad As Samarqandi, Abdul Ghani, ibn Abdul Wahid Al- Maqdisi, Abdul ’Adim ibn Abdul Qawi Al- Munziri, Ibrahim ibn Muhammad Al- Maqdisi, Abi Muhammad Khalf ibn Muhammad Al- Wasiti, Abu Nu’ain Ahmad ibn Abdillah Al- Asbahani, Ibnu Asakir, Syamsuddin, Ibn Muhammad al- Husaini[32].
Mereka itulah ulama’- ulama yang sangat berjasa pada abad ini, karena pada masa ini juga disebut masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan.
BAB 3
KESIMPULAN

Kodifikasi atau tadwin hadis mengalami beberapa fase. Adapun fase yang terbagi dari abad 2 H- 7h ialah sebagai berikut:
1.      Abad 2 Hiriyah
Dikenal dengan masa penulisan dann pembukuan hadits secara resmi. Yang dipelopori oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Corak pengumpulanya yaitu belum terdapat penyaringan,hadits masih bercampur dengan fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in masih masuk didalamnya.
2.      Abad 3 Hiriyah
Dikenal dengan masa pemurnian dan penyempurnaan hadits. Upaya ulama dalam pemurnian/ pelestarian hadits antara lain: perlawatan kedaerah- daerah, pengklasifikasian hadits kepada yang marfu’ dan maqthu’, penyeleksian kualitas hadits dan pengklasifikasianya. Bentuk penyusunan haditsnya yaitu secara kitab Shahih, kitab Sunan dan kitab Musnad.
3.      Abad 4 Hijriyah- 7 Hijriyah
Pada masa ini dikenal dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan. Upaya yang dilakukan ulama untuk membaguskan susunan kitab- kitabnya, mengumpulkan hadits- hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits- hadits hukum dalam sebuah kitab dan hadits- hadits taghrib dalam sebuah kitab ,dan masuklah kitab- kitab hadits itu kedalam masa menyarahkan dan masa mengikhtisarkan.

Demikianlah ringkasnya sejarah pengumpulan hadits yang dilakukan para ulama masing- masing periode. Merekalah para Waliullah  yang sangat berjasa, yang diutus untuk melestarikan hadits- hadits hingga hadits bisa sampai kepada masa sekarang. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik untuk mereka semua. Amin



REFERENSI

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Saifudin Nur, dan Ahmad Izzan, Ulumul Hadits, Bandung: Tafakur, 2011.

Ash- Shiddieqy, Hasby, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Nurudin, Ulum Al- Hadits 1, Bandung: Rosdakarya,1994.




[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 88- 89.
[2] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, Ulumul Hadits, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 62.
[3] Ibid,.
[4] Munzier Suparta, op. cit., hal. 90.
[5] Hasby Ash- Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 59.
[6] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 63.
[7] Ibid., hlm. 64
[8] Ibid
[9] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm. 62.
[10] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 65.
[11] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm.63.
[12] Nurudin, Ulum Al- Hadits 1, (Bandung: Rosdakarya,1994), hlm. 45.
[13] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm.67.

[14] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 66.
[15] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm.68.
[16] Ibid., hlm 69.
[17] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 67.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 68.
[21] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm.80.
[22] Munzier Suparta, op. cit., hal. 92- 93.
[23] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm. 94.
[24] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 69
[25] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm. 96- 97.
[26] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 69- 70.
[27] Ibid.
[28] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm. 100.
[29] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur, op. cit., hlm. 70.
[30] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm.101.
[31] Ahmad Izzan, dan Saifudin Nur,  Ibid.
[32] Hasby Ash- Shiddieqy, op. cit., hlm.104- 105.