“ HADITS MASA
UMAYYAH DAN MASA AWAL ABBASIAH”
(Abad 2
H Hingga Awal Abad 7 H)
Disusun Oleh:
Muhammad Solehan
PENDAHULUAN
Dalam abad pertama hijrah ,
mulai dari zaman Rasul, Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar zaman Bani
Umayyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadit- hadits itu berpindah
dari mulut ke mulut. Masing- masing perawi meriwayatkan berdasarkanpada kekuatan
hafalan. Dikala kendali dibawah kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
beliau tergerak untuk membukukan hadits pada masa itu. Beliau khawatir apabila
hadits tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para
perawinya, mungkinlah hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi ini, dibawa
para perawi penghafalnya ke alam barzakh karena semakin banyak yang
meninggal dunia. Maka khalifah pun mengkoordinasi gubernur- gubernur untuk
turut andil dalam pengumpulan dan pembukuan hadits. Ulama’- ulama’ abad ini membukukan hadits, yaitu dengan tidak
menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits- hadits saja, fatwa- fatwa sahabat
pun dimasukkan kedalam bukunya itu, bahkan fatwa- fatwa tabi’i juga dimasukkan.
Semua itu dibukukan bersama- sam. Maka terdapatlah dalam kitab- kitab itu,
hadits- hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Adapun pada Abad setelah
ini(abad Kedua Hijriyyah), para ulama’ hadits memusatkan perhatian mereka pada
pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits- hadits Nabi SAW, sebagai
antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang semakin marak. Pada abad ini,
perkembangan ilmu pengetahuan islam pesat sekali dan melahirkan imam- imam
mujtahid diberbagai bidang.
Sedangkan pada Abad keempat
hingga Abad ketujuh Hijriyyah, lama’- ulama’ abad ini menitik beratkan usaha
untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak- serakan dan
memudahkan jalan- jalan pengambilan atau ringkasnya, boleh kita katakan bahwa
pada fase ini , masuklah hadits ke zaman membaguskan susunan kitab- kitabnya,
mengumpulkan hadits- hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits- hadits
hukum dalam sebuah kitab dan hadits- hadits taghrib dalam sebuah kitab ,dan
masuklah kitab- kitab hadits itu kedalam masa menyarahkan dan masa
mengikhtisarkan.
BAB 2
PEMBAHASAN
Masa Tadwin Hadits Abad 2 H Hingga Abad 7
H
Secara bahasa, tadwin
diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al- shuhuf). Secara
luas tadwin diartikan dengan al-
jam’u (mengumpulkan). Al- Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut
:
“Mengumpulkan yang berserak-serakan
kemudian mengumpulkanya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran- lembaran.”
Sementara yang dimaksud dengan
tadwin hadits pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang
berdasarkan perintah kepala negara , dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli di bidang nya.Bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa Rasul
SAW[1].
Adapun
periodesasi pengumpulan hadits pada abad
2 Hijriyyah hingga abad 7
Hijriyyah adalah sebagai berikut:
A. Hadits Pada Abad
Kedua Hijriyyah
Periode ini dikenal dengan masa penulisan dan
pembukuan hadits. Pada periode ini hadits- hadits Nabi SAW mulai ditulis dan
dikumpulkan secara resmi. Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari
dinasti Umayyah yang memulai memerintah dipengujung abad pertama Hijriyyah(99 H), merasa perlu untuk mengambil langkah- langkah bagi
penghimpunan dan penulisan hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di
dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in. Hal tersebut dirasakanya
begitu mendesak , karena pada masa itu wilayah kekuasaan islam telah meluas ke
daerah- daerah diluar Jazirah Arab[2].
Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pengumpulan dan pengkodifikasian hadits
adalah sebagai berikut[3]:
1. Tidak adanya lagi
penghalang untuk menulis dan membukukan hadits, yaitu kekhawatiran bercampurnya
Hadits dengan Al- qur’an.
2. Munculnya
kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadits karena banyaknya para sahabat
yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau seringnya terjadi peperangan.
3. Semakin maraknya
kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan
perbedaan mahdzab di kalangan umat islam. Apabila dibiarkan, maka akan merusak
kemurnian ajaran Islam..
4. Semakin luasnya
daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya
permasalahan yang dihadapi umat Islam, maka hal itu menuntu mereka untuk
mendapatkan petunjuk- petunjuk dari Hadits Nabi SAW, selain petunjuk Al- Qur’an.
5. Kekhawatiran akan
tercampurnya hadits- hadits sahih dengan hadits- hadits palsu[4].
Untuk menghasilkan (merealisasikan) maksud mulia
itu, pada tahun 100H khalifah meminta
kepada gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin (120
H) supaya membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang
terkenal, Amrah binti Abdir Rahman ibn Sa’ad
ibn Zurarah ibn Ades, seorang
ahli fiqih, murid Aisyah ra.(98 H), dan hadis- hadis yang ada pada Al- Qasim
ibn Muhammad ibn Abu Bakar Ash- Shiddiq (107 H) seorang pemuka
tabi’in dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh[5].
Serta hadits yang menjadi koleksi ibn Hazm sendiri[6].
Dan tugas serupa pun di laksanakan oleh Muhammad
ibn Syihab al- Zuhri (124 H) seorang
ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama’ diataslah yang merupakan pelopor dalam kodifikasi
hadits berdasarkan perintah khalifah
Umar ibn Abd Al- Aziz. Para ulama’ hadits lebih cenderung memilih al- Zuhry
sebagai kodifikator pertama dari pada
ibn Hazm, karena[7]:
1. Dikenal sebagai ulama
besar di bidang hadits dibandingkan lainya
2. Dia berhasil
menghimpun seluruh hadits yang ada di Madinah.
3. Hasil kodifikasinya
dikirim keseluruh penguasa sehingga lebih cepat tersebar. Meskipun ibn Hazm
dan al- Zuhri telah berhasil menghimpun
dan mengkodifikasi
hadits, akan tetapi karya kedua
ulama tersebut telah hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang[8].
Adapun
sistem ulama’- ulama’ abad ini membukukan
hadits, yaitu dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits- hadits
saja, fatwa- fatwa sahabat pun dimasukkan kedalam bukunya itu, bahkan fatwa-
fatwa tabi’i juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama- sam. Maka
terdapatlah dalam kitab- kitab itu, hadits- hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’[9].
Didalam kitab hadits periode ini belum dijumpai pemisahan antara hadits yang
berkualitas shahih, hasan dan dha’if[10].
Kitab-
kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, banyak.
Akan tetapi yang terkenal dalam kalangan ahli hadits dan yang mendapat
perhatian umum ulama’ ialah[11]:
1. Al- Muwaththa’
susunan Imam Malik
2. Al- Musnad, susunan
Al- Imam Asy- Syafi’i
3. Mukhtaliful Hadits,
juga susunan Al- Imam Asy- Syafi’i
4. As- Siratun
Nabawiyyah (Al – Maghazy wal Siyar) susunan Muhammad ibn Ishaq.
Al- Muwaththa’ adalah kitab hadits paling shahih waktu
itu. Akan tetapi jumlah haditsnya sedikit, hanya sekitar lima ratus buah,
ditambah dengan sejumlah pendapat para sahabat, dan tabi’in[12].
Adapun tokoh
hadits yang masyhur pada abad ini antara lain: Imam Malik, Yahya ibn Sa’id ibn
Qathan, Waki’ ibn Al- Jarrah, Sufyan Ats- Taury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn
Hajjaj, Abdurrahman ibn Mahdi, Al- Auza’y, Al- Laits, Abu Hanifah, Asy- Syafi’i[13].
B. Hadits Pada Abad Ketiga
Hijriyyah
Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan
Khalifah al- Ma’mun sampai al- Muktadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah.
Pada periode ini para ulama’ hadits memusatkan perhatian mereka pada
pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits- hadits Nabi SAW, sebagai
antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang semakin marak. Pada abad ini,
perkembangan ilmu pengetahuan islam pesat sekali dan melahirkan imam- imam
mujtahid diberbagai bidang. Pada dasarnya para imam mujtahid, meskipun dalam
beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai
pendapat masing- masing. Akan tetapi , para pengikutmasing- masing imam,
berkeyakinan bahwa pendapat gurunya (imamnya)-lah yang benar, sehingga
menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Diantara pengikut
mahdzab yang sangat fanatik, akhirnya menciptakan hadits- hadits palsu dalam
rangka mendukung mahdzabnya dan menjatuhkan mahdzab lawanya. Hadits palsupun
dimanfaatkan oleh kaum zindiq yang sangat memusuhi Islam dalam rangka
menyesatkan kaum Muslimin[14].
Ahli abad ketiga mereka bangkit mengumpulkan
hadits, mereka mengasingkan hadits dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in. Akan
tetapi satu kekurangan yang harus kita akui , ialah mereka tidak memisah-
misahkan hadits. Yakni mereka mencampur-adukkan hadits sahih, hasan dan dha’if[15].
Adapun upaya yang dilakukan para ulama untuk melestarikan hadits pada abad
ini:
1. Perlawatan ke
daerah- daerah
Mula- mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits- hadits yang terdapat
dikota mereka masing- masing. Sebagian kecil saja diantara mereka yang pergi ke
kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dipecahkan oleh Al- Bukhary.
Beliaulah yang meluaskan daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau
pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Bagdhad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah , Mesir,
Damsyik, Qaisariyah, Asqalan, dan Himsah. Ringkasnya, beliau membuat langkah
mengumpulkan hadits- hadits yang tersebar di berbagai daerah . Enam belas tahun
lamanya ia menjelajah untuk menyiapkan kitab sahihnya[16].
Kegiatan seperti ini selanjutnya diikuti
oleh Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dll[17].
2. Pengklasifikasian
hadits kepada: marfu’ dan maqthu’
Pada permulaan abad ke- 3H telah dilakukan pengelompokan hadits kepada: (i)marfu’,
yaitu hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw, (ii) mawquf, yang
disandarkan pada sahabat , (iii)maqthu’, yang disandarkan kepada
tabi’in. Dengan cara ini, hadits nabi SAW terpelihara dari pencampuran dengan
fatwa- fatwa tabi’in[18].
3. Penyeleksian kualitas
hadits yang pengklasifikasianya kepada:
sahih, hasan, dan dha’if
Kegiatan ini dimulai pada pertengahan abad ke- 3H yang dipelopori oleh
Ishaq ibn Rahawaih. Kegiatan ini diikuti oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, dll[19].
Bentuk Penyusunan kitab hadits pada abad ketiga Hijriyyah[20],
yaitu:
1. Kitab Shahih,
kitab ini hanya hadits- hadits shahih. Bentuk penyusunanya adalah berbentuk musannaf,
yaitu: penyajian berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana metode kitab-
kitab fiqh. Contoh kitab Shahih: Shahih Bukhari, Shahih Muslim.
2. Kitab Sunan,dalam
kitab ini dijumpai hadits- hadits shahih, juga didapati hadits yang berkualitas
Dha’if dengan syarat tidak terlalu
lemah dan tidak mungkar. Penyusunanya berbentuk musannaf, dan
hadits- haditsnya terbatas pada masalah fiqh (hukum). Contohny: Sunan Abu
Daud, Sunan Al- Tirmidzi, Sunan Al- Nasa’i, Sunan Sunan Ibnu Majah, dan Sunan
Al- Darimi.
3. Kitab Musnad, didalam kitab ini hadis-hadis disusun
berdasarkan nama perawi pertama . Urutan perawi pertama ada yang berdasarkan
urutan kabilah, sahabat yang lebih dahulu masuk islam dll. Umumnya dalam jenis ini tidak dijelaskan
hadits- haditsnya. Contoh: Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu Al- Qasim Al
Baghawi, Musnad Utsman ibn Abi Syaibah.
Adapun tokoh- tokoh yang lahir dalam masa ini,
ialah: ‘Ali Ibnul Madani, Abu Hatim Ar- Razy, Muhammad ibn Jarir Ath- Thabary,
Muhammad ibn Sa’ad, Ishaq ibnu Rahawaih, Ahmad, Al- Bukhari, Muslim, An-
Nasa’i, Abu Daud, At- Tirmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Quthaibah ad- Dainury[21].
Kitab- kitab yang
tersusun pada abad ini pun sangat
banyak, dalam bentuk kitab Sahih,Sunan, maupun Musnad. Diantaranya:kita kenal
dengan Kutubus Sittah (Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, An- Nasa’i, At-
Tirmidzi, Ibnu Majah), kitab hadits imam Bukhari dan Muslim dikenal dengan Jami’
Al- Shahih, Sedangkan keempat ulama’ lainya dikenal dengan nama Sunan[22].
Ada banyak pula kitab hadits periode ini yang disusun dengan Musnad.
C. Hadits Pada Abad
Keempat Hingga Awal Abad Ketujuh Hijriyyah
Ahli hadits sesudah abad
ketiga tidak banyak lagi yang mengtakhrijkan hadits. Mereka hanya berusaha mengtahdzibkan
kitab- kitab yang telah ada, menghafalnya dan memeriksa sanad yang ada di
dalam kitab yang telah ada itu. Dalam abad keempat ini lahirlah fikiran
mencukupi dalam meriwayatkan hadits dengan berpegang kepada kitab saja, tidak
melawat kemana- mana. Dengan usaha Al- Bukhari, Muslim dan Imam- imam lain itu,
terkumpulah jumlah yang sangat besar dari hadits- hadits yang shahih. Sedikit
sekali hadits- hadits shahih yang tak terkumpul dalam kitab- kitab ahli hadits
abad ketiga, yang diusahakan mengumpulkanya oleh haditts abad keempat. Adapun
kitab- kitab hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab- kitab shahih abad
ketiga (kitab enam), yaitu: Ash- Shahih (susunan Ibnu Khuzaimah), At-
Taqsim wal Anwa’ (susunan Ibnu Hibban), Al- Mustadrak (susunan Al-
Hakim), Ash- Shahih (susunan Abu
Awanah), Al- Muntaqa (susunan Ibnul Jarud), Al- Mukhtarah
(susunan Muhammad ibn Abdul Wahid Al- Maqdisy)[23].
Setelah lahirnya karya- karya
diatas, maka kegiatan para ulama’ berikutnya pada umumnya adalah merujuk kepada
karya- karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari,
menghafal, memeriksa, dan menyelidiki sanad- sanadnya. Juga menyusun kitab-
kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun semua sanad dan
matan yang saling berhubungan serta yang
telah termuat secara terpisah dalam kitab- kitab yang telah ada tersebut[24].
Ulama’- ulama’ abad kelima menitik
beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-
serakan dan memudahkan jalan- jalan pengambilan dan sebagainya, seperti: mengumpulkan
hadits- hadits hukum dalam satu kitab, dan hadits taghrib dalam sebuah kitab,
serta menyarahkanya. Ringkasnya, boleh kita katakan bahwa mulai abad
kelima, masuklah hadits ke zaman membaguskan susunan kitab- kitabnya,
mengumpulkan hadits- hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits- hadits
hukum dalam sebuah kitab dan hadits- hadits taghrib dalam sebuah kitab ,dan
masuklah kitab- kitab hadits itu kedalam masa menyarahkan dan masa
mengikhtisarkan. Ulama- ulama yang datang sesudah berlalu abad yang keempat
itu, seluruhnya berpegang dalam memperkatakan hadits, kepada apa yang telah
dibukukan oleh imam- imam hadits yang telah lalu[25].
Para ulama hadits periode ini
memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan hadits, yaitu:
1. Kitab Athraf: kitab ini penyusunanya hanya menyebutkan
dari sebagian dari matan tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad
dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutib matanya
atau dari kitab- kitab lainya. Contoh: Athraf Al- Shahihaini (Ibrahim Al-
Dimisyqi), Athraf al- Sunan al- Arbaah( Ibn Asakir al- dimisyqi), dll[26].
2. Kitab Mustakhraj: Kitab ini memuat matan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya, atau lainya, dan selanjutnya penyusun
kitab ini meriwayatkan matan hadits tersebut dengan sanadnya sendiri[27].
Usaha- usaha yang lahir pada masa ini adalah istikhraj. Yaitu mengambil
suatu hadits kemudian meriwayatkanya dengan sanad sendiri karena tidak
memperoleh sanadnya sendiri. Contoh: Mustakhraj Shahih Al- Bukhari (Al-
Hafidh Al- Jurjani), Mustakhraj Shahih Muslim (Al- Hafidh Abu Awanah), Mustakhraj
Al- Bukhari dan Muslim (Al- Hafidh Muhammad ibn Yaqub, yang terkenal dengan
nama Ibnu Akhram), dan lain sebagainya[28].
3. Kitab
Mustadrakh: kitab ini
menghimpun hadits- haditsyang memiliki
syarat- syarat Bukhari dan Muslim, atau yang memiliki salah satu syarat dari
keduanya[29] atau
yang tidak diriwayatkan dan dishahihkan beliau- beliau ini[30].
Usaha penyusunan ini disebut dengan istidrak. Contoh: Al- Mustadrakh (Al-
Hakim), Al- Ilzamat (Ad- Daruqutni), Al- Mustadrak (Abu Dzar Al-
Harawy).
4. Kitab Jami’: kitab ini menghimpun hadits- hadits yang
termuat dalam kitab- kitab yang telah ada, yaitu seperti: Yang menghimpun
hadits- hadits shahih Bukhari dan Muslim, atau hadits- hadits dari Kutub Al-
Sittah. Seperti: Al- Jami’ bayn Al- Shahihaini (Ibn AlFurat), Al-
Jami’ bayn Al- Shahihaini (Al- Baghawi), Tajrid Al- Shihah (Razim
Muawiyah), Al- Jami’ (Ibn Kharrat)[31],
dll.
Adapun diantara tokoh- tokoh
hadits dalam masa ini (abad 4 H- awal 7 H), ialah: Ibnu Khuzaimah, Al- Hakim,
Ibnu Hibban, ad- Daruqutni, Ath- Thabarani, Al- Qasmi ibn Qathlubagha, Ibnus-
Sakan, Ath- Thahawi, Al- Baihaqi, Ismail ibn Ahmad ibn Furrat, Muhammad
ibn Nashr Al- Humaidi, Al- Baghawi,
Mhammad ibn Ishaq Al- Asybili, Ahmad ibn Muhammad al- Qurtuby(Ibnu Hujjah),
Razin ibn Muawiyah al’Abdari As Sarqasti, Ibnu Atsir Al- Jazari, ‘Abdurrahman
ibnul Jauzy, Al- Hasan ibn Ahmad As Samarqandi, Abdul Ghani, ibn Abdul Wahid
Al- Maqdisi, Abdul ’Adim ibn Abdul Qawi Al- Munziri, Ibrahim ibn Muhammad Al-
Maqdisi, Abi Muhammad Khalf ibn Muhammad Al- Wasiti, Abu Nu’ain Ahmad ibn Abdillah
Al- Asbahani, Ibnu Asakir, Syamsuddin, Ibn Muhammad al- Husaini[32].
Mereka itulah ulama’- ulama
yang sangat berjasa pada abad ini, karena pada masa ini juga disebut masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan.
BAB 3
KESIMPULAN
Kodifikasi atau tadwin hadis mengalami beberapa
fase. Adapun fase yang terbagi dari abad 2 H- 7h ialah sebagai berikut:
1. Abad 2 Hiriyah
Dikenal dengan masa penulisan dann pembukuan
hadits secara resmi. Yang dipelopori oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Corak
pengumpulanya yaitu belum terdapat penyaringan,hadits masih bercampur dengan
fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in masih masuk didalamnya.
2. Abad 3 Hiriyah
Dikenal dengan masa pemurnian dan penyempurnaan
hadits. Upaya ulama dalam pemurnian/ pelestarian hadits antara lain: perlawatan
kedaerah- daerah, pengklasifikasian hadits kepada yang marfu’ dan maqthu’,
penyeleksian kualitas hadits dan pengklasifikasianya. Bentuk penyusunan
haditsnya yaitu secara kitab Shahih, kitab Sunan dan kitab Musnad.
3. Abad 4 Hijriyah- 7
Hijriyah
Pada masa ini dikenal dengan masa pemeliharaan,
penertiban, penambahan dan penghimpunan. Upaya yang dilakukan ulama untuk
membaguskan susunan kitab- kitabnya, mengumpulkan hadits- hadits dalam sebuah
kitab besar, memisahkan hadits- hadits hukum dalam sebuah kitab dan hadits-
hadits taghrib dalam sebuah kitab ,dan masuklah kitab- kitab hadits itu kedalam
masa menyarahkan dan masa mengikhtisarkan.
Demikianlah ringkasnya sejarah pengumpulan hadits
yang dilakukan para ulama masing- masing periode. Merekalah para Waliullah yang sangat berjasa, yang diutus untuk
melestarikan hadits- hadits hingga hadits bisa sampai kepada masa sekarang.
Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik untuk mereka semua. Amin
REFERENSI
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Saifudin
Nur, dan Ahmad Izzan, Ulumul Hadits, Bandung: Tafakur, 2011.
Ash- Shiddieqy, Hasby, Sejarah Pengantar Ilmu
Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Nurudin,
Ulum Al- Hadits 1, Bandung: Rosdakarya,1994.