JAM’UL
QUR’AN
Oleh
: Muhammad Solehan
A. PENGERTIAN
Dalam sebagian besar
literatur yang memebahas tentang ilmu- ilmu Al-Qur’an, istilah yang dipakai
untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau kodifikasi Al- Qur’an adalah
“Jam’u Al- Qur’an” yang artinyapengumpulan Al- Qur’an. Sementara, hanya
sebgian kecil literatur yang memakai istilah “Kitabat Al-Qur’an” artinya
penulisan al- qur’an serta “Tadwin Al- Qur’an” artinya Pembukuan al-
qur’an[1].
Yang dimaksud dengan
pengumpulan al-qur’an(jam’ul qur’an) oleh para ulama adalah salah satu
dari 2 pengertian berikut[2]:
Pertama:
Pengumpulan dalam arti Haffazhahu (mengahafalnya
dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazhuhu (para penghafal, yaitu orang
yang menghafalka dalam hatinya).
Kedua:
pengumpulan dalam arti kitabu kullihi (penulisan
Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah- misahkan ayat- ayat dan surat-
suratnya atau menertibkanayat- ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam
satu lembaran terpisah, atau menertibkanayat- ayat dan surat- suratnyadalam
lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat.
Apabila kita mencermati
maksud dua pengertian diatas, sesungguhnya istilah- istilah yang mereka gunakan
memiliki maksud yang sama, yaitu proses penyampaian wahyu yang turun, oleh
Rasulullah kepada para sahabat, pencatatan atau penulisanya sampai dihimpun
catatan-catatan tersebut dalam 1 mushaf yang utuh dan tersusun secara tertib.
Secara garis besar, pengumpulan Al-qur’an dilakukan 2 periode, yaitu periode
nabi SAW dan periode khulafaur rasyidin. Sedangkan pengumpulan yang terjadi
pada masa nabi pun dibagi menjadi dua[3],
Seperti pendapat kebanyakan ulama, yaitu:
1) Pengumpulan dalam dada, dengan cara
menghafal, menghayati dan mengamalkan
2) Pengumpulan dalam dokumen dengan cara
menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
B. SEJARAH PENGUMPULAN AL- QUR’AN (JAM’UL
QUR’AN)
Terbagi atas dua periode, yaitu:
1. Pengumpulan Al- Qur’an Pada Masa Nabi
Pengumpulan Al-Qur’an
pada masa nabi, dikategorikan menjadi dua bagian. Yaitu, pengumpulan dalam
konteks hafalan dan pengumpulan dalam konteks penulisanya.
a) Pengumpulan Al-Qur’an Dalam Konteks
Hafalan
Al-qur’anul Karim turun kapada nabi yang
ummi (tidak bisa baca- tulis). Karena itu, perhatian nabi hanyalah untuk
sekadar menghafal dan mengayatinya agar ia dapat menguasai Al-qur’an persis
sebagaimana halnya al- qur’an diturunkan[4].
Allah swt berfirman :
Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.(Q. S Al-Jum’ah : 2)
Biasanya, orang yang ummi itu
mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatanya. Mereka sangat dalam hafalan serta daya pikirnya begitu terbuka[5].
Pada masa Nabi, terdabat banyak penghafal Al- Qur’an dari kalangan sahabat.
Banyak pula pendapat dan riwayat yang menyebutkan tentang jumlah penghafalnya
dengan berbagai versi. Pendapat yang mengatakan 70 orang, berdasarkan kitab Ash-Shahih
tentang peperangan Sumur ma’unah disebutkan bahwa para sahabat yang terbunuh
pada peperangn itu mendapatkan gelar Al- Qurra (para pembaca dan
penghafal al- qur’an) mereka semua berjumlah 70 orang[6].
Menurut Ibnu Atsir Al- Jazary dalam kitab An- Nasyr, menyebutkan para penghafal al-Qur’an berjumlah 35 0rang[7].
Sedangkan dalam kitab Sahihnya, Al- Bukhari telah mengemukakan 7
penghafal Al- Qur’an dengan 3 riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim
bin Ma’qil Maula Abi Hudzaifah, Muadz
bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-
Darda’[8].
1) Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin
Ash, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda”Ambillahal-quran dari
empat orang sahabatku;Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz, dan ubay bin Ka’ab.”
(keempat orang tersebut 2 orang dari muhajirin yaitu Abdullah bin Mas’ud dan
Salim;dan 2 orang dari ansor, yaitu Muadz dan Ubay.
2) Diriwayatkan dari Qatadah, ia
berkata,”Aku bertanya kepada Anas bin Malik, siapakah orang yang mengumpulkan
al-quran dimasa Rasulullah?dia menjawab,”4 orang. Semuanya dari kaum ansor;
Ubay bin Kaab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.”Aku bertanya
lagi,”Abu Zaid itu siapa?” “Salah seorang pamanku,”jawabnya.
3) Dan diriwayatkan pula melalui Tsabit
dari Anas katanya”Rasulullah saw wafat sedangkan Al-quran belum dihafal kecuali
oleh 4 orang; Abu Darda’, Muadz bin Jabal, zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Pembatasan tujuh orang sebagaimana
disebutkan Al- Bukhari dengan 3 riwayat sahih, maksudnya, mereka itulah yang
hafal seluruh isi Al-qur’an diluar kepala dan selalu merujukkan hafalanya
dihadapan Nabi, isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para penghafal
Al-qur’an lainya-yang berjumlah banyak-tidak memenuhi hal-hal tersebut,
terutama karena para sahabat yang telah tersebar di pelbagai wilayah dan
sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal
ini bahwa para sahabat yang terbunuh di Bi’ru Ma’unah semuanya disebut Qurra,
jumlahnya 70 orang sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih.
Dari keterangan- keterangan ini jelaslah
bagi kita bahwa para penghafal al- quran dimasa Rasulullah saw amat banyak
jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan sesuatu dimasa itu
termasuk ciri khas umat ini. Ibnu Al Jazari, sebagai seorang Syaikh para
penghafal pada masanya menyebutkan, “Penukilan Al-quran dengan berpegang pada
hafalan- Bukan pada tulisan dan kitab- merupakan salah satu jenis keistimewaan
yang diberikan Allah kepada umat ini.”[9]
b) Pengumpulan Al-Qur’an Dalam Konteks
Penulisan
Dalam rangka menjaga kemurnian Al-
quran, selain ditempuh lewat jalur hafalan, juga dilengkapi dengan tulisan.
Rasulullah saw mengangkat para penulis wahyu Al- quran dari sahabat- sahabat
terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit[10],
menurut riwayat, para penulis beliau 26 orang, bahkan ada yang
meriwayatkan 42 orang. Para penulis
wahyu yang sekian banyak itu sebagian ada yang tetap khusus mencatat wahyu-
wahyu yang diturunkan. Dan sebagian ada yang ditetapkan hanya untuk sementara
waktu saja[11]. Setiap
turun ayat Allah Quran, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya
dalam rangka memperkuat catatan dan
dokumentasi dalam kehati- hatian beliau terhadap kitab Allah swt[12].
Adapun cara mereka menulis Al- quran adalah menggunakan pelepah- pelepah kurma,
kepingan batu, kulit atau daun kayu, tulang binatang dsb. [13]
Para ulama sepakat bahwa pengumpulan al-
quran adalah tauqifi (menurut ketentuan) artinya susunanya sebagaimana
yang kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril A.s. bila
membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada nabi, ia mengatakan,”Hai
Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkanya pada
urutan ke sekian surat...” Demikian
pula halnya Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat,”Letakkanlah pada
urutan ini.” [14]
Penulisan masa ini, belum terkumpul
menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni: Pertama,
tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan
Al-quran menjadi satu mushaf mengingat Rasulullah masih hidup dan
banyaknya sahabat yang menghafal al- qurandan sama sekali tidak ada unsur-
unsuryang diduga akan mengganggu kelestarian Al-qur’an. Kedua, al-qur’an
diturunkan secara berangsur angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-quran
bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga
selama proses turun al-quran, masih terdapat kemungkinanadanya ayat- ayat
al-quran yang mansukh[15].
2. Pengumpulan Al- Qur’an Pada Masa
Khulafaur Rasyidin
Al-
qur’an di zaman Nabi Saw belumlah dihimpun menjadi satu, sebab Nabi belum
memerintahkanya dan menjaga apabila turun wahyu lagi yang akan diterimanya. Setelah
Rasulullah saw wafat. Estafet dakwah dilanjutkan oleh para Khulafaur
Rasyidin. Pada masa ini, pengumpulan dilakukan dalam dua periode, yaitu :
Abu Bakar Ash- Siddiq dan Utsman bin Affan.
a) Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Kaum muslimin melakukan
konsensus untuk mengangkat Abu Bakar Al- Siddiq sebagai khalifah sepeninggalan
Nabi Saw. Pada awal masa pemerintahan Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah
al- Kazzab beserta pengikut- pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan
murtad dari islam. Pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid segera
menumpas gerakan ini. Peristiwa tersebut terjadi di Ymamah tahun 12 H.
Akibatnya banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah
hafal Al- qur’an.
Kejadian tersebut
dikritisi oleh Umar bin Khattab. Ia khawatir peristiwa yang serupa akan
terulang kembali. Sehingga semakin banyak golongan huffadz yang gugur.
Bila demikian,”masa depan” Al- qur’an menjadi terancam. Maka muncul ide kreatif Umar yang disampaikan
kepada Abu Bakar Al- Siddiq untuk segera mengumpulkan tulisan- tulisan Al-
qur’an yang pernah ditulis pada masa Nabi Saw[16].
Semula Abu Bakar
keberatan atas usul Umar. Tetapi Umar berhasil meyakinkanya. Maka dibentuklah
sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan
mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Tsabit pun merasa keberatan, akan
tetapi dapat pula diyakinkan[17].
Abu Bakar memerintahkan Zaid bi Tsabit, melihat kedudukanya dalam masalah
qiraat, hafalan, penulisan, pemahaman dan kecerdasanya serta kehadiranya pada
pembacaan yang terakhir kali. Zaid bin Tsabit memulai dengan bersandar pada
hafalan yang ada dalam hati para qurra’dan catatan yang ada pada para
penulis[18].
Kemudian lembaran-lembaran itu disimpan abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun
13 H, lembaran- lembaran itu berpindah ke tangan Umar selaku khalifah kedua
dan tetap berada di tanganya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke
tangan Hafsah, puteri Umar.
Dari rekaman sejarah diatas, maka dapat
diketahui bahwa Abu Bakar Al- shiddiq adalah orang pertama yang memerintahkan
penghimpunan Al-qur’an, Umar bin Khatab adalah pelontar idenya, serta Zaid bin
Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan Al- qur’an
secara utuh dan sekaligus menghimpunya kedalam satu mushaf.
Adapun karakteristik
penulisan al-qur’an pada masa Abu Bakar ini[19]
adalah :
1) Seluruh ayat Al-qur’an dikumpulkan dan
ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan
seksama.
2) Meniadakan ayat- ayat yang telah mansukh.
3) Seluruh ayat yang ada telah diakui
kemutawatiranya.
4) Dialek arab yang dipakai dalam pembukuan
ini berjumlah 7 (qiraat) sebagaimana yang dinukil berdasar riwayat yang benar-
benar sahih.
Demikianlah singkatnya
riwayat Al- qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah.
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 11 H.
b) Pembukuan Al- Qur’an Pada Masa Utsman
bin Affan.
Latar belakang pengumpulan Al- qur’an
pada masa Utsman ra berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah
kekuasaan pada masa Utsman telah meluas
dan daerah- daerah islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Disetiap
daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca
Al- qur’an mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan
Abdullah bin Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al-
‘Asyari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk
bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan antar
sesama[20].
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak, termasuk Hudzaifah
bin Al- Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara- cara membaca Al- qur’an.
Sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan, masing- masing
mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang
menyalahi bacaanya dan puncaknya mereka saling mengkafirkan[21].
Setelah kejadian tersebut, Utsman dengan kebenaran pandanganya bermaksud untuk
melakukan tindakan pencegahan. Ia mengumpulkan sahabat- sahabat yang terkemuka
dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan)
dan perselisihan. Mereka sepakat untuk menyalin dan memperbanyak mushaf
kemudian mengirimkanya ke segenap daerah dan kota. Ia menugaskan kepada empat
orang sahabat pilihan, yang hafalanya dapat diandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubeir, Said ibn Al- Ash dan Abdurrahman ibn Hisyam. Mereka semua
dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit yang berasal dari
kaum Ansor. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun 24 hijrah.
Utsman mengatakan kepada mereka,”Bila anda sekalian menemui perselisihan
pendapat tentang bacaan maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-
Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy,” Utsman meminjam mushaf Abu Bakar
yang disimpan oleh Hafsah binti Umar dan memerintahkan keempat orang sahabat tersebut
untuk menyalinya dan memperbanyaknya[22].
Setelah mereka selesai menyalin, naskah Hafsah tadi dikembalikan, dan salinan
itu dijadikan 5 buah naskah, ini menurut riwayat yang masyhur. Lima buah
naskah mushaf Al- qur’an tersebut oleh Utsman lalu dikirimkan sebuah ke Makkah,
sebuah ke Syam, sebuah ke Kuffah, sebuah ke Basrah, dan sebuah disimpan oleh
beliau[23].
Mushaf inilah yang sampai sekarang kita kenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.
C. PERBEDAAN ANTARA MUSHAF ABU BAKAR DAN
MUSHAF UTSMAN
Perbedaan antara pengumpulan
(mushaf) Abu Bkar dan Utsman adalah sebagai berikut. Pengumpulan mushaf
pada mada Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisanya Al- Qur’an kedalam
satu mushaf yang ayat- ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang
terkumpul pada kepingan- kepingan batu, pelepah kurma dan kulit- kulit
binatang. Adapu latar belakangnya karena banyaknya Huffadz yang gugur.
Sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf
yang telah tersusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan untuk dikirimkan ke
seluruh negara islam. Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca Al-
qur’an[24].
REFRENSI
Al- Qaththan,
Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an, Jakarta: Al- Kautsar, 2009.
Ash- Shabuuniy,
Muhammad Ali, Studi Ilmu Al- Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1991.
Chalil, Munawar,
Al- Qur’an Dari Masa Ke Masa, Semarang: CV. Ramadhani, 1952.
Al- Maliki Al-
Hasni, Muhammad bin Alawi, Mutiara Ilmu- Ilmu Al- Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Ash- Shieddieqi,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an/ Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al- Munawar,
Said Agil Husin, Al- Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
[1] Said Agil Husin Al- Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Jakarta,:Ciputat Press,2002),
hal.15-16
[2] Manna’ Al- Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an (Jakarta:
Pustaka Al- Kautsar,2009), hal. 150-151
[3] Muhammad Ali Ash- Shabuuniy, Studi Ilmu Al- Qur’an (Bandung
Pustaka Setia, 1991), hal. 93
[4] Ibid.
[5] Ibid hal. 94
[6] Muhammad bin Alawi Al- Maliki Al Hasni, Mutiara- Mutiara Ilmu
Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 37
[7] Hasby Ash- Shidqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al- Quran/Tafsir (Jakarta:
Bulan Bintang,1980), hal. 85- 86
[8] Manna’ Al- Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an (Jakarta:
Pustaka Al- Kautsar,2009), hal. 152
[9] Ibid hal. 156
[10] Ibid
[11] Munawwar Chalil, Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa, (Semarang: CV.
Ramadhani, 1952), hal. 22-23
[12] Muhammad Ali Ash- Shabuuniy, Studi Ilmu Al- Qur’an (Bandung
Pustaka Setia, 1991), hal. 98
[13] Ibid, hal. 99
[14] Ibid
[15]Said Agil Husin Al- Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Jakarta: Ciputat Press,
2002), hal.17
[16] Ibid, hal. 18
[17] Ibid.
[18] Manna’ Al- Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an (Jakarta:
Pustaka Al- Kautsar,2009), hal. 159
[19] Said Agil Husin Al- Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Jakarta: Ciputat Press,
2002), hal. 19
[20] Muhammad Ali Ash- Shabuuniy, Studi Ilmu Al- Qur’an (Bandung
Pustaka Setia, 1991), hal. 108
[21] Manna’ Al- Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an (Jakarta:
Pustaka Al- Kautsar,2009), hal. 162- 163
[22] Muhammad Ali Ash- Shabuuniy, Studi Ilmu Al- Qur’an (Bandung
Pustaka Setia, 1991), hal. 108 -109
[23]Munawwar Chalil, Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa, (Semarang: CV.
Ramadhani, 1952), hal. 29
[24] Muhammad Ali Ash- Shabuuniy, Studi Ilmu Al- Qur’an (Bandung
Pustaka Setia, 1991), hal. 110
No comments:
Post a Comment