Wednesday 16 October 2013

Ketika Sesuatu Yang Dianggap Kecil itu Adalah “Shalat”

Penakluk pertama Mount Everest, puncak tertinggi dunia di Pegunungan Himalaya, Sir Edmund Hillary, pernah ditanya wartawan apa yang paling ditakutinya dalam menjelajah alam. Dia lalu mengaku tidak takut pada binatang buas, jurang yang curam, bongkahan es raksasa, atau padang pasir yang luas dan gersang sekali pun! Lantas apa? "Sebutir pasir yang terselip di sela-sela jari kaki," kata Hillary. Wartawan heran, tetapi sang penjelajah melanjutkan kata-katanya, "Sebutir pasir yang masuk di sela-sela jari kaki sering sekali menjadi awal malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama-lama jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi seorang penjelajah sebab dia harus ditandu." Harimau, buaya, dan beruang, meski buas, adalah binatang yang secara naluriah takut menghadapi manusia. Sedang menghadapi jurang yang dalam dan ganasnya padang pasir, seorang penjelajah sudah punya persiapan memadai. Tetapi, jika menghadapi sebutir pasir yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah tak mempersiapkannya. Dia cenderung mengabaikannya.
Jika kita melihat realita dalam kehidupan manusia. Betapa banyak insan yang tak memperhatikan hal yang paling kecil dalam hidupnya, tak pernah mengindahkan hal yang sepele sekalipun. Minoritas saja dari kita yang bisa melihat pentingnya kita memperhatikan hal yang paling kecil dalam hidup kita ini. Padahal sesuatu yang besar itu berawal dari sesuatu yang kecil. Bahkan Allah-pun akan membalas kebaikan meskipun hanya sekecil biji atom, begitu pula sebaliknya. (Q.S Al- Zalzalah: 7-8)
  
Ketika kita berbicara tentang hal yang kecil yang sering kita remehkan, saya menjadi teringat akan cerita tentang nabi Daud As. Suatu hari Nabi daud As tengah jalan- jalan disalah satu kebun milik warga. Ia tengah menemui seekor cacing yang tengah bermain tanah, masuk kedalam lubang, kemudian keluar, masuk lagi dan keluar lagi, mencari makan di tanah yang gembur dan subur. Berkatalah nabi Daud As kepada cacing tersebut.
“Wahai cacing, betapa sia- sianya hidupmu ini. Hari- harimu hanya engkau habiskan untuk mainin tanah.”
“tidak seperti kami para manusia. Bisa mengisi waktu kami untuk beribadah, bersujud dan mensucikan nama Allah SWT”.
Seekor cacing tersebut pun mendengarkan perkataan Nabiyullah tersebut dengan perasaan sedih. Atas Izin Allah, maka si Cacing pun dapat berbicara, menimpali perkataan nabi Daud yang seolah merendahkan makhluq ciptaan Allah, yakni Cacing.
“Wahai Nabiyullah Daud, Adakah yang Allah Ciptakan Di Bumi-NYA Ini sesuatu yang sia- sia”
“Adakah ya Nabiyullah, sesuatu yang sia- sia” tanya si cacing mengulangi pertanyaan retorisnya.
“TIDAK ADA, sama sekali tidak ada yang sia- sia” ujar cacing menjawab pertanyaanya sendiri yang ia lontarkan kepada Nabi Daud As.
“Tahukah engkau, wahai Nabiyullah. Setiap kali aku masuk lubang,  kemudian keluar, ataupun ketika aku bergerak kesana kemari, tak henti bibirku mengucapkan SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WALA ILAHA ILLALLAH WALLAHUAKBAR WALAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAHIL’ALIYYIL ADHIIM”...
Adapun reaksi nabiyullah Daud As, ketika mendengar cacing bertasbih, ia pun menitikkan air mata seraya sujud bertasbih kepada Allah SWT.
Dari secuil kisah diatas, dapat kita ambil ibrah, bahwasanya jangan pernah diri ini sombong dengan status kita sebagai manusia yang dikaruniai banyak kelebihan, termasuk bisa melaksanakan ibadah lebih sempurna dibandingkan makhluk Allah yang lain, dan menganggap makluk lain lebih ”remeh” ibadahnya daripada kita. Bukankah semua yang Ada di didunia ini senantiasa bertasbih dengan bergerak. Daun- daun yang diterpa angin, itulah tasbih daun dan angin Allah. Begitu pula dengan bumi Allah, senantiasa ber’rotasi, itu menunjukkan ketaatan mereka, tasbih mereka kehadirat Allah Azza Wajalla. Sedangkan manusia, yang dikarunia akal fikiran dan hati nurani. Jika kita tidak menjaga ibadah yang sudah diwajibkan oleh Allah dan kita tak memenuhi perintahNya, maka betapa kita harus malu dengan semua makluk Allah di dunia ini, yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap titah Allah.
Seringkali kita tak mengindahkan panggilan Allah ketika mulai berkumandang. Ketika hal yang wajib mulai kita remehkan, yakni shalat, maka tak ayal lagi bila mana syari’at Allah yang lain akan kita tinggalkan satu persatu. Betapa kufurnya kita terhadap nikmat dan karunia yang Allah hinggapkan didalam kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan pernah anggap remeh hal kecil, diantaranya yakni shalat, karena ia adalah amal yang pertamakali akan dihisab dihari dimana Allah buka semua tabir kehidupan manusia, sehingga terlihatlah semua amal yang telah ia gores dalam tiap lembar hidupnya.
“Insan yang Bersyukur, dialah insan yang bisa menghijrahkan kata dari yang penting shalat, menuju shalat itu penting.”
 Wallahu ‘Alam Bisshowab

No comments:

Post a Comment